Monday, April 11, 2011

Refleksi Pendidikan Kita

Mari kita bertanya pada bangsa ini?. Apakah pendidikan kita sudah berhasil mencetak orang-orang yang berkualitas?. Ada sebuah cerita dari teman saya. “Ada seorang anak desa, ia begitu rajinnya memberikan makan untuk hewan ternaknya. Tak perlu disuruh, dengan senang hati ia mencarikan rumput sehabis pulang dari sekolah dasar. Namun ketika ia menginjak SMP, ia hanya mau mencari rumput ketika disuruh oleh orang tuanya. Menginjak SMA, ia sama sekali tidak lagi mau mencarikan rumput.” Kemudian teman saya bertanya. Adakah yang salah dengan arah pendidikan kita?. Mengapa semakin tinggi pendidikannya, ia semakin jauh dari kehidupan lokal yang telah membesarkannya. Padahal, dulu ia begitu rajin mencarikan rumput untuk ternaknya. Ia sadar, kalau ternak adalah satu-satunya bagi kelangsungan hidupnya dan keluarganya.
Namun mengapa kini demikian?. Nampaknya ada pergeseran nilai dalam pendidikan kita. Idealnya, pendidikan menjadikan kita semakin bangga akan kehidupan lokal. Bukannya menjauhkan dari nilai-nilai lokal yang selama ini tumbuh.


Ada 3 pilar pendidikan yang seharusnya tertanam pada diri siswa, yaitu 1) keilmuan, 2) moral, 3) beauty (rasa keindahan). Sekolah seharusnya dapat menanamkan ketiga hal itu pada diri siswa. Jelas, bahwa tujuan dari sekolah adalah mendidik siswa agar bertambah ilmunya. Yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Yang tadinya tidak bisa menjadi bisa. Tapi apakah keberhasilannya sudah terukur dengan baik?.

UAN yang dijadikan patokan pun masih menjadi kebimbangan bagi sebagian besar orang. Bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya dapat diukur dari nilai. Tetapi aspek kecerdasan yang lain.
Sementara moral?. Walau sudah banyak sekolah yang menerapkan pendidikan moral bagi siswa, kenyataan di lapangan masih banyak kita jumpai hal-hal anarkis?. Misalnya: perkelahian, pembakaran gedung, mogok sekolah, demo kepada gurunya, pemakaian narkoba, dsb. Itu artinya, bahwa penanaman moral belum tertanam dengan baik. Karena siswa cenderung memilih hal-hal yang anarkis, ketimbang menyelesaikannya dengan cara damai dan harmonis.

Sementara keindahan artinya adalah pendidikan seharusnya mampu menanamkan nilai-nilai budaya sosial. Nilai-nilai budaya lokal. Menumbuhkan kecintaan pada nilai lokal dan budayanya. Seperti cerita di atas, bahwa seharusnya sekolah bisa tetap mempertahankan siswa untuk tidak malu pada keadaan.
Berbagai upaya sepertinya telah dilakukan. Seperti pergantian kurikulum, menstandarkan semua pendidik S1 atau S2 dan tersertifikasi, juga penyediaan fasilitas yang lengkap. Lantas mana yang perlu diperbaiki kembali?.

Model sekolah seperti apa yang mampu mencetak siswa yang memiliki 3 kriteria di atas?.
Apakah sekolah yang dibangun dengan megah?. Dengan gedung bertingkat, ruang yang luas dan fasilitas yang lengkap?. Atau mungkin sekolah yang berbasis alam dengan fasilitas seadanya lebih baik?. Atau model sekolah pesantren?. Menurut anda?.

Tentu keberhasilan sebuah pendidikan tidak lepas dari 3 komponen, yaitu 1) Peran Pendidik/Guru, 2) Peran keluarga, 3) Peran Masyarakat. Ketiganya harus bersinergi dengan baik. Karena pendidikan yang baik berasal dari masyarakat yang baik. Yang didalamnya terdapat keluarga dan orang-orang/pendidik yang baik pula.

Kemudian pertanyaannya, peran seperti apa yang seharusnya orang tua dan pendidik lakukan?. Apakah anak seharusnya diarahkan atau dibiarkan menuruti keinginannya sendiri?. Dimanakah seharunya peran pendidik dan orang tua?. Sekedar motivator, pengambil keputusan, atau apa?.

Lantas, apakah pendidikan kita telah berhasil mencetak para lulusan yang berkualitas dan yang mampu diserap di dunia kerja?. Menurut saya, hard skill memang penting. Namun bukan segala-galanya. Karena di luar sana, orang lebih membutuhkan mereka yang memiliki hard skill dan soft skill. Maka, mari kita untuk membekali diri kita dengan soft skill lain.
Read more....

Memerdekakan Kaum Perempuan ‘Perempuan Berpendidikanlah !’


Mengenang sosok seperti R. A Kartini tentunya sebagai perempuan kita sangat bangga. Sebagai wujud mengenang perjuangan beliau, setiap tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Karena beliaulah, kini emansipasi perempuan telah dimerdekakan. Perempuan menjadi memiliki peluang yang cukup besar dalam mengambil peran pada setiap aktivitasnya. Perempuan menjadi bebas dalam memainkan hak-haknya sebagai kaum perempuan. Namun ketika saya menyimak berita ‘Putus Sekolah DiDominasi Perempuan’ (KR, 19 April 2010 hal 2), penulis cukup prihatin. Diberitakan bahwa angka putus sekolah dan buta huruf ternyata masih didominasi oleh anak-anak perempuan. Hal itu tentu melengkapi catatan kekerasan yang sering muncul dewasa ini. Baik yang terjadi pada perempuan dewasa, juga anak-anak.


Adakah yang salah dengan diri perempuan kita?. Walau ikrar kesetaraan gender sudah didengungkan dimana-mana. Sepertinya penderitaan bagi perempuan belum cukup sampai disini. Apakah wanita masih dipandang sebagai ‘konco wingking’ oleh kaum laki-laki?, atau bagaimana?. Menurut pengamatan penulis, tentu sudah tidak begitu adanya. Laki-laki sudah mulai mengghormati hak-hak perempuan yang juga memiliki peran yang sama, terkhusus dalam hal berpendidikan. Terlebih juga dalam pemerintahan. Kuota 30 persen telah diberikan untuk perempuan. Artinya, perempuan pun memiliki kesempatan terjun didunia politik. Kesempatan untuk berkarya dan mengembangkan dirinya seluas-luasnya.

Persoalan banyaknya anak perempuan yang putus sekolah, tentunya disebabkan berbagai faktor. Penulis berpendapat bahwa faktor tersebut meliputi faktor sosial, budaya, dan ekonomi. Akan tetapi, nampaknya faktor ekonomi merupakan faktor utama penyebab terjadinya kondisi tersebut. Kondisi ekonomi yang rendah, tentu lebih memperhitungkan laki-laki untuk sekolah ketimbang perempuan. Kondisi ini, dimungkinkan merupakan dampak dari masa lalu, dimana perempuan dewasa banyak yang juga tidak bersekolah. Sehingga pola pikir yang terbentuk juga demikian adanya. Lagi-lagi alasan ekonomi sering menjadi hambatan bagi sebagian besar orang untuk berkarya.

Di Negara yang semakin maju ini, tentu pola pokir bangsa ini pun sudah meluas. Berbagai upaya dari pemerintah dalam mengatasi hal ini tentu sudah banyak diupayakan. Misalnya, dengan berdirinya lembaga-lembaga non formal yang dikhususkan untuk menampung mereka yang tidak tertampung dalam pendidikan formal. Seperti, Balai Latihan Kerja (BLK), progam kejar paket, atau lembaga non formal lainnya.

Di lembaga tersebut, tentunya selain mendapatkan kesempatan untuk berpendidikan, mereka juga diberikan bekal life skill, yang harapannya dapat membantu mereka untuk hidup mandiri kelak. Persoalannya adalah, apakah kesadaran dari tiap individu itu sudah terbangun?. Jika belum, tentu berdirinya lembaga-lembaga diatas tidak akan mampu menyelesaikan masalah tersebut. Ada dua hal yang mungkin terjadi. Bisa jadi banyak orang belum mengetahui keberadaan lembaga-lembaga tersebut, atau orang sudah tahu, akan tetapi kesadaran pribadi yang rendah.

Jika alasannya belum tahu keberadaanya lembaga tersebut, maka, kerja sama dari semua pihak tentu sangat penting. Kepedulian terhadap sesama harus diciptakan. Namun jika disebabkan oleh kesadaran yang rendah, maka sekarang saatnya perempuan bangkit. Perempuan harus menunjukkan dirinya sebagai perempuan yang berwawasan luas, serta berani mengambil sikap dalam menentukan masa depannya kelak. Karena perubahan itu dimulai dari diri sendiri. Maka, perempuan Indonesia ‘berpendidikanlah !’.
Read more....