Mari kita bertanya pada bangsa ini?. Apakah pendidikan kita sudah berhasil mencetak orang-orang yang berkualitas?. Ada sebuah cerita dari teman saya. “Ada seorang anak desa, ia begitu rajinnya memberikan makan untuk hewan ternaknya. Tak perlu disuruh, dengan senang hati ia mencarikan rumput sehabis pulang dari sekolah dasar. Namun ketika ia menginjak SMP, ia hanya mau mencari rumput ketika disuruh oleh orang tuanya. Menginjak SMA, ia sama sekali tidak lagi mau mencarikan rumput.” Kemudian teman saya bertanya. Adakah yang salah dengan arah pendidikan kita?. Mengapa semakin tinggi pendidikannya, ia semakin jauh dari kehidupan lokal yang telah membesarkannya. Padahal, dulu ia begitu rajin mencarikan rumput untuk ternaknya. Ia sadar, kalau ternak adalah satu-satunya bagi kelangsungan hidupnya dan keluarganya.
Namun mengapa kini demikian?. Nampaknya ada pergeseran nilai dalam pendidikan kita. Idealnya, pendidikan menjadikan kita semakin bangga akan kehidupan lokal. Bukannya menjauhkan dari nilai-nilai lokal yang selama ini tumbuh.
Ada 3 pilar pendidikan yang seharusnya tertanam pada diri siswa, yaitu 1) keilmuan, 2) moral, 3) beauty (rasa keindahan). Sekolah seharusnya dapat menanamkan ketiga hal itu pada diri siswa. Jelas, bahwa tujuan dari sekolah adalah mendidik siswa agar bertambah ilmunya. Yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Yang tadinya tidak bisa menjadi bisa. Tapi apakah keberhasilannya sudah terukur dengan baik?.
UAN yang dijadikan patokan pun masih menjadi kebimbangan bagi sebagian besar orang. Bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya dapat diukur dari nilai. Tetapi aspek kecerdasan yang lain.
Sementara moral?. Walau sudah banyak sekolah yang menerapkan pendidikan moral bagi siswa, kenyataan di lapangan masih banyak kita jumpai hal-hal anarkis?. Misalnya: perkelahian, pembakaran gedung, mogok sekolah, demo kepada gurunya, pemakaian narkoba, dsb. Itu artinya, bahwa penanaman moral belum tertanam dengan baik. Karena siswa cenderung memilih hal-hal yang anarkis, ketimbang menyelesaikannya dengan cara damai dan harmonis.
Sementara keindahan artinya adalah pendidikan seharusnya mampu menanamkan nilai-nilai budaya sosial. Nilai-nilai budaya lokal. Menumbuhkan kecintaan pada nilai lokal dan budayanya. Seperti cerita di atas, bahwa seharusnya sekolah bisa tetap mempertahankan siswa untuk tidak malu pada keadaan.
Berbagai upaya sepertinya telah dilakukan. Seperti pergantian kurikulum, menstandarkan semua pendidik S1 atau S2 dan tersertifikasi, juga penyediaan fasilitas yang lengkap. Lantas mana yang perlu diperbaiki kembali?.
Model sekolah seperti apa yang mampu mencetak siswa yang memiliki 3 kriteria di atas?.
Apakah sekolah yang dibangun dengan megah?. Dengan gedung bertingkat, ruang yang luas dan fasilitas yang lengkap?. Atau mungkin sekolah yang berbasis alam dengan fasilitas seadanya lebih baik?. Atau model sekolah pesantren?. Menurut anda?.
Tentu keberhasilan sebuah pendidikan tidak lepas dari 3 komponen, yaitu 1) Peran Pendidik/Guru, 2) Peran keluarga, 3) Peran Masyarakat. Ketiganya harus bersinergi dengan baik. Karena pendidikan yang baik berasal dari masyarakat yang baik. Yang didalamnya terdapat keluarga dan orang-orang/pendidik yang baik pula.
Kemudian pertanyaannya, peran seperti apa yang seharusnya orang tua dan pendidik lakukan?. Apakah anak seharusnya diarahkan atau dibiarkan menuruti keinginannya sendiri?. Dimanakah seharunya peran pendidik dan orang tua?. Sekedar motivator, pengambil keputusan, atau apa?.
Lantas, apakah pendidikan kita telah berhasil mencetak para lulusan yang berkualitas dan yang mampu diserap di dunia kerja?. Menurut saya, hard skill memang penting. Namun bukan segala-galanya. Karena di luar sana, orang lebih membutuhkan mereka yang memiliki hard skill dan soft skill. Maka, mari kita untuk membekali diri kita dengan soft skill lain.
Read more....
Ada 3 pilar pendidikan yang seharusnya tertanam pada diri siswa, yaitu 1) keilmuan, 2) moral, 3) beauty (rasa keindahan). Sekolah seharusnya dapat menanamkan ketiga hal itu pada diri siswa. Jelas, bahwa tujuan dari sekolah adalah mendidik siswa agar bertambah ilmunya. Yang tadinya tidak tahu menjadi tahu. Yang tadinya tidak bisa menjadi bisa. Tapi apakah keberhasilannya sudah terukur dengan baik?.
UAN yang dijadikan patokan pun masih menjadi kebimbangan bagi sebagian besar orang. Bahwa keberhasilan pendidikan tidak hanya dapat diukur dari nilai. Tetapi aspek kecerdasan yang lain.
Sementara moral?. Walau sudah banyak sekolah yang menerapkan pendidikan moral bagi siswa, kenyataan di lapangan masih banyak kita jumpai hal-hal anarkis?. Misalnya: perkelahian, pembakaran gedung, mogok sekolah, demo kepada gurunya, pemakaian narkoba, dsb. Itu artinya, bahwa penanaman moral belum tertanam dengan baik. Karena siswa cenderung memilih hal-hal yang anarkis, ketimbang menyelesaikannya dengan cara damai dan harmonis.
Sementara keindahan artinya adalah pendidikan seharusnya mampu menanamkan nilai-nilai budaya sosial. Nilai-nilai budaya lokal. Menumbuhkan kecintaan pada nilai lokal dan budayanya. Seperti cerita di atas, bahwa seharusnya sekolah bisa tetap mempertahankan siswa untuk tidak malu pada keadaan.
Berbagai upaya sepertinya telah dilakukan. Seperti pergantian kurikulum, menstandarkan semua pendidik S1 atau S2 dan tersertifikasi, juga penyediaan fasilitas yang lengkap. Lantas mana yang perlu diperbaiki kembali?.
Model sekolah seperti apa yang mampu mencetak siswa yang memiliki 3 kriteria di atas?.
Apakah sekolah yang dibangun dengan megah?. Dengan gedung bertingkat, ruang yang luas dan fasilitas yang lengkap?. Atau mungkin sekolah yang berbasis alam dengan fasilitas seadanya lebih baik?. Atau model sekolah pesantren?. Menurut anda?.
Tentu keberhasilan sebuah pendidikan tidak lepas dari 3 komponen, yaitu 1) Peran Pendidik/Guru, 2) Peran keluarga, 3) Peran Masyarakat. Ketiganya harus bersinergi dengan baik. Karena pendidikan yang baik berasal dari masyarakat yang baik. Yang didalamnya terdapat keluarga dan orang-orang/pendidik yang baik pula.
Kemudian pertanyaannya, peran seperti apa yang seharusnya orang tua dan pendidik lakukan?. Apakah anak seharusnya diarahkan atau dibiarkan menuruti keinginannya sendiri?. Dimanakah seharunya peran pendidik dan orang tua?. Sekedar motivator, pengambil keputusan, atau apa?.
Lantas, apakah pendidikan kita telah berhasil mencetak para lulusan yang berkualitas dan yang mampu diserap di dunia kerja?. Menurut saya, hard skill memang penting. Namun bukan segala-galanya. Karena di luar sana, orang lebih membutuhkan mereka yang memiliki hard skill dan soft skill. Maka, mari kita untuk membekali diri kita dengan soft skill lain.